Dalam sebuah sesi podcast, pertanyaan yang cukup menggelitik mengemuka: Apakah klub sekelas Manchester United (MU) bisa bangkrut? Secara umum, tentu saja tidak ada yang mustahil di dunia ini.
”Saya setuju, tak ada yang kebal dari yang dialami Glasgow Rangers dan Portsmouth. Situasi juga tidak sehat apabila ada 13-14 klub di Liga Inggris yang terus merugi. Namun Anda juga harus melihat Manchester City yang mengalami kerugian dalam setahun, tetapi mereka (salah satu) klub terkaya di dunia," tutur Philip Beard, ketua eksekutif Rangers yang baru.
MU punya kemampuan menjaring pendapatan yang sangat besar. Sebagai contoh, MU adalah satu-satunya klub yang berhasil menjual paket sponsor di sebidang seragam latihannya. Artinya, MU memiliki kekuatan untuk mengoptimalkan ruang beriklan.
Bukan hanya seragam tandingnya.
Tapi bukankah MU punya utang yang besar?
Betul, kebanyakan orang tahu itu. Fans mereka pun sadar. MU punya utang dan kewajiban lain sebesar 989 juta euro. Dibandingkan dengan nilai skuad MU versi Transfermarkt, angka itu lebih besar 548 juta euro. Jumlah hutang MU juga lebih besar dibandingkan Real Madrid (590 juta), Barcelona (578 juta) dan Arsenal (534 juta).
Namun menurut penjelasan di blog keuangan sepak bola nan berpengaruh Swiss Ramble, jumlah utang MU ternyata tidak masuk dalam kategori merah alias berbahaya.
Selain karena MU mampu melunasi, ternyata sebagian utang Setan Merah adalah jumlah yang tak harus dibayar dan berbentuk kewajiban (liabilities). Misalnya, tiket terusan yang pendapatannya diterima di muka sehingga masuk dalam komponen yang harus dipenuhi sesuai jadwal pertandingan.
Singkatnya,, MU memiliki utang produktif.
Dari segi aset, MU pun ternyata lebih baik dibandingkan 3 klub tadi. Per laporan keuangan mereka masing-masing untuk periode 2011, MU memiliki aset bersih 654 juta euro dan Arsenal 112 juta euro. Adapun Madrid dan Barcelona justru minus. Kalaupun diadu dengan aset bersih yang sudah disesuaikan dengan nilai pasar skuad, MU tetap lebih unggul.
Jangan lupakan pula bahwa MU adalah klub sepak bola dengan merek terbaik bernilai pasar $2,24 miliar berdasarkan analisa majalah Forbes. Di tiga besar merek termahal klub olahraga dunia, MU satu-satunya klub sepak bola.
Dengan berbagai figur finansial tersebut, tidak salah jika Glazer dan keluarganya memutuskan melepas saham MU (IPO) di bursa efek New York (NYSE). Artinya, kemampuan MU menghasilkan pendapatan benar-benar dioptimalkan untuk menyusul pemasukan hak siar televisi, tiket pertandingan dan penjualan suvenir klub.
Jadi, secara finansial, gangguan bagi MU untuk beberapa tahun ke depan selayaknya sangat kecil. Tentu saja, kembali ke pertanyaan awal, bangkrut masih mungkin terjadi dengan diawali oleh menurunnya nilai merek mereka. Terlebih bila skuad "Setan Merah" gagal merengkuh trofi utama terus-menerus — misalnya 7 musim beruntun seperti yang dialami Arsenal.
Musim lalu pun pasukan Sir Alex Ferguson gagal meraih trofi di empat ajang yang diikutinya. Dengan situasi itu, misalnya, MU menemui nasib buruk dengan degradasi. Untuk bangkrut, basis penggemar mereka yang sudah sedemikian kuat akan menjadi aset yang paling berharga sebagai pagar betis.
Kompetisi sepak bola adalah industri yang unik. Selain sebagai bisnis tontonan, dia juga sebagai lahan puncak pembinaan pemain di negara tertentu (dan belakangan lintas batas negara) serta sebagai pentas budaya masyarakat tertentu. Kepiawaian mengelola prestasi dan manajerial akan menjadi kunci perjalanan klub.
Namun dengan berbagai tantangan dan persaingan ketat di bisnis ini, ternyata jumlah klub Eropa yang bangkrut pun masih sangat sedikit. Belum sampai 10 persen dari jumlah total. Secara umum, para pemilik modal sadar bahwa klub yang mereka miliki bukanlah toko kelontong. Bagi sebagian besar pemodal itu, klub adalah mainan kesayangan mereka. Bahkan berangsur sudah menjadi portofolio prestasi kekayaan mereka. Bagi mereka, ini sudah bukan lagi soal untung atau rugi. Ini soal gairah.
Masalahnya, para pemilik modal inilah yang kadang menjadi kelemahan tersendiri. Mereka adalah para pebisnis besar nan sukses yang penasaran melihat industri sepak bola. Mereka kemudian masuk ke bisnis sepak bola dan menemui fakta bahwa industri ini tak seperti industri yang mereka geluti sebelumnya.
Mereka kaget dan terpaksa memotong kerugian dengan melepas saham klub sehingga melahirkan sebuah guncangan.
Akhirnya, menjadi tidak tepat untuk bertanya apakah kebangkrutan berpeluang menghampiri klub sebesar MU. Yang kini perlu ditanyakan, seberapa rela para pemilik dengan gairah itu (dan juga penggemar) melihat klub kesayangannya mengalami kebangkrutan?
0 komentar:
Posting Komentar